Loading...

MTQ, DARINYA KAMI MENGAMBIL PELAJARAN

Minggu, 16 Sepember 2018 7 Izzatur Rifdah Ismail
Image

Perhelatan MTQN ke 27 di Medan telah berlalu, menyimpan cerita di hati masing-masing semua yang ikut berkecimpung di dalamnya. 10 hari yang terasa singkat itu membawa pelajaran bagi yang mengingatnya, termasuk diriku.

Tepatnya pada hari aku tampil, hari menunjukkan hasil atas perjuangan berbulan-bulan, jerih payah dan letih yang telah dimulai sejak setahun belakangan.

Ustadz Dahuri selaku pelatih dan pembimbingku pada hari H berkali-kali mengingatkan untuk selalu membaca hauqolah (dzikir laa haula wala quwwata illa billah)  dan nanti saat mendekati panggung membaca doa yang dilafazkan Nabi Musa saat akan menghadapi Fir'aun.

Awalnya beberapa hari sebelum tampil, hatiku diliputi ketenangan, tak merasa terintimidasi akan aura MTQ yang mencekam. Sayangnya, mendekati hari H gelisah bukan main. Ketakutan bila tak bisa membaca Al-Quran saat berada di atas panggung. Ketakutan bila Allah menghukumku tak bisa melafazkan kalam-kalam-Nya atas semua dosa yang tertumpuk,  sehingga sadar tidak sadar aku lebih banyak menghabiskan waktu untuk menangis.

Percaya tidak percaya, pertolongan itu datang. Menghampiri dalam sebentuk wajah guru yang selama ini menempaku, Ustadz Syahrir Ali Basyah,  salah seorang Imam Masjid At-Tiin.

Kilasan-kilasan ingatan beliau yang mendidikku sekelebat berterbangan. Ingatan saat hujan-hujanan tubuh basah tetap memaksakan diri datang ke Masjid At-Tiin, untuk di tes hafalannya. Lalu beliau membekali saya nasi bungkus dan kembali menyemangati untuk terus murajaah. Atau beliau yang bila melihat aku murung dengan buruknya hafalanku berusaha melempar joke ringan, untuk mengembalikan senyum dan semangatku.

Beliau memperlakukanku lain dari yang lain. Mendidikku dengan keras dan tegas menegur jika salah. Mungkin karena memang kualitas hafalan dan bacaanku jauh tertinggal dari yang lain. Hal yang sangat kusyukuri saat ini.

Bukan hal aneh jika satu waktu aku dipanggil untuk mempertanyakan grammarku yang masih berantakan, atau menghampiri untuk mengatakan laporan pelatih hafalanku yang tidak kunjung lancar juga,  atau menyidangku saat tahu aku masih kuliah padahal pembinaan full day telah ditetapkan. Saat itu beliau bilang "Saya hanya ingin melihat hasil" dengan wajah tegas. Pada momen itu,  aku tertunduk dengan mata yang berair.

Menjelang hari-hari keberangkatan, tidak ada lagi kata-kata teguran, melainkan kata-kata beliau yang menyiratkan harapan aku menjadi juara,  seperti;

"Izzah,  coba lihat jas nya, ada tulisan juara nggak? "

Aku hanya menyengir dan menjawab "Amin ya Rabb"

Atau kata-kata serius beliau yang mengatakan tahun ini beliau ingin ada dari peserta tafsir bahasa inggris yang menjadi juara, makanya beliau memberi perhatian lebih.

Tahu hal apa yang menyemangatiku untuk tetap tenang murajaah padahal tubuh sudah gemetaran membayangkan kengerian panggung? ialah wajah Ustadz Syahrir,  yang menegurku dengan wajah seriusnya;

"Besok saya tes kamu 3 juz,  harus benar waqof ibtida'nya! "

"Itu kenapa mad jaiz nya kurang? "

"Kalau napas kamu nggak panjang, nggak usah maksain,  pilih waqof ibtida' yang benar"

"Walaupun ini namanya cabang tafsir,  tetap saja yang paling penting tahfidz, saya ingin melihat keseriusan kamu"

"Kalau kamu murajaah untuk jadi juara, kamu nggak akan semangat untuk mengulang hafalan, nanti juara nggak dapat,  hafalan apalagi"

Dalam sekejap, ingatan tentang semua itu bermunculan. Sehingga bukan lagi juara yang aku harapkan,  melainkan sepulang dari Medan hafalanku lancar 13 Juz.

Bukan lagi juara yang kupikirkan,  melainkan membayangkan wajah Ustadz Syahrir yang menungguku setoran.

Dan dengan cepatnya, hari pembuktian itu datang. Cabang lomba tafsir bahasa inggris ini ada dua sesi, sesi tahfidz dan sesi tafsir. Aku dituntun masuk dalam kotak ajaib, kotak yang dan seolah-olah bertanya, 

"Apakah kamu siap?"

Saat soal pertama dilemparkan, aku tak bisa menjawab dengan lancar.  Efek grogi karena disuruh maju ke panggung saat mental belum sepenuhnya siap. Aku di bel 3 kali dan akhirnya ditunjuki oleh hakim tahfidz.

Saat soal kedua,saat hatiku yang sudah pasrah akan nasib kedepan, keajaiban itu datang.  Wajah Ustadz Syahrir tiba-tiba muncul dalam bayangan, beliau tersenyum padaku. Dan subhanallah  hatiku mendadak tenang,  hingga bisa menjawab soal kedua  dan ketiga dengan lancar.  Dan soal keempat seolah mewakili isi hatiku,  surat Yusuf saat Nabi Ya'qub berkata;

"Sesungguhnya aku mengadukan keluhan dan kesedihanku kepada Allah..."

"Wahai anakku pergilah dan carilah Yusuf dan janganlah engkau berputus asa dari Rahmat Allah..."

Aku menangis, ayat ini benar-benar menggambarkan isi hatiku, tanpa sadar saat membaca suaraku gemetar,  merasa tak punya daya apa-apa selain karena pertolongan Allah.

Ketika sesi tahfidz dilanjutkan dengan sesi tafsir,  entah kenapa aku tidak begitu ingat apa yang aku sampaikan.  Yang terekam jelas hanyalah Allah memberikan kefasihan saat aku berbicara,  menyampaikan dalil dan mengaitkan dengan kondisi terkini. Selayang pandang aku bisa melihat beberapa juri yang melongokkan kepalanya melihatku yang sedang menyampaikan tafsir.  Bahkan alhamdulillah aku bisa menggunakan ayat yang sebelumnya aku keliru  membacanya sebagai dalil penguat tafsir ayat yang sedang diuji. 

Momen luar biasa,  yang alhamdulillah bisa mengantarkanku menjadi salah satu finalis.  Yang setelah Allah memberiku kesempatan bertemu Ustadz Syahrir dan mengabarkan bahwa tiba-tiba aku terbayang wajah beliau di panggung beliau membenarkan bahwa beliau memang mendoakanku,  muridnya yang "bebal" ini.

Hal lain yang juga kulakukan sebelum tampil ialah menghubungi semua guru-guru tahfidzku semenjak MA dan kuliah,  juga meminta doa kepada murid-muridku,  dan pastinya yang memegang peranan besar doa Abi Ummi, mereka yang mendukung dalam diam dan munajatnya.

Salah satu ayat yang juga menjadi motivasiku untuk terus berusaha semaksimal mungkin ialah penutup surat Al-Hajj, "Wahai orang-orang yang berimah, ruku'lah dan sujudlah kamu dan beribadahlah pada Tuhanmu, dan perbuatlah kebaikan. Semoga kamu menjadi orang-orang yang beruntung"

"Dan berusahalah sebenar-benar usaha. Dia telah memilih kamu dan tidak ingin menjadikan dirimu kesusahan dalam agama... "

Maka, ajang MTQ ini bukan hanya menyoal juara atau tidak. Bisa jadi ada yang juara,  namun dengan juara itu dia menjadi tinggi hati dan berkurang tawadhu'nya.  Atau setelah juara dia meninggalkan amal-amal shalih yang selama ini selalu ia rutinkan saat pelatihan.

Lebih jauh, MTQ ini sebagai ajang membentuk habbits yang selama ini ditanamkan saat pelatihan. Shalat shubuh dan maghrib berjamaah, yasinan sesudah maghrib,  memperbanyak istighfar dan menjaga keikhlasan, menghormati guru dan memuliakan mereka, menyemangati sesama peserta dan mendoakan mereka. Dan tentunya, terus murajaah dan menambah ilmu sebagaimana kewajiban kita sebagai hamba.

Entah saat ini atau lusa, percayalah Allah akan memberikan hamba-hamba yang senantiasa menjaga amal sholih mereka keberuntungan. Yang tidak hanya tampak di mata, tapi juga terasa di dada. Yang tidak hanya di dunia,  tapi juga nanti saat di akhirat dan bertemu dengan-Nya"

"Maka janganlah kamu berputus asa dari Rahmat Allah, sesungguhnya yang berputus asa dari Rahmat Allah hanyalah orang-orang kafir"


Penulis: Izzatur Rifdah Ismail (Peserta Tafsir Bahasa Inggris)