Kecanggihan teknologi berupa aplikasi Al-Qur'an tak akan mampu
menggantikan posisi para guru pengajar Al-Qur'an. Syekh al-Dhabba berkata bahwa
belajar Al-Qur'an harus dengan ber-talaqqi (ketemu langsung) dan musyafahah
(mengikuti gerak-gerik bibir) sang guru dalam melafalkan ayat-ayat Al-Qur'an.
Dalam kitab al-natsr fi al-qiraat al-'asyr juz 1 halaman 210-211, Syekh
al-Dhabba' menyampaikan bahwa sekalipun sudah ada mushaf yang dapat
dipertanggungjawabkan (al-madhbutah) akan tetapi tidak ada dasarnya orang belajar
Al-Qur'an tanpa guru. Oleh sebab itu beliau berpendapat tidak boleh belajar
Al-Qur'an tanpa didampingi ulama yang ahli qiraatul Qur'an.
Nabi Muhammad Saw saja setiap bulan Ramadhan selalu diminta Malaikat
Jibril agar sorogan dengan cara mengulang kembali bacaan-bacaan ayat Al-Qur'an
yang sudah sampai ke beliau. Padahal Rasulullah Saw adalah orang pertama
sekaligus maha guru di bidang Al-Qur'an. Sekalipun demikian beliau selalu ber
talaqqi dengan malaikat Jibril.
Begitu pula pencatat Al-Qur'an di masa Rasulullah, yaitu Zaid b.
Tsabit. Dalam kitab al-Itqan fi Ulumum Al-Qur'an, halaman 59-60 disebutkan
bahwa walaupun Zaid b. Tsabit merupakan penghapal Al-Qur'an akan tetapi pada
saat mencatat ayat Al-Qur'an beliau selalu ber-talaqqi kepada Rasulullah Saw
dan selalu dicocokkan dengan sahabat-sahabat lain yang sama-sama dikenal
sebagai pencatat Al-Qur'an.
Nabi Muhammad Saw juga pernah bersabda: ambillah (ikutilah) bacaan dari
4 orang, yaitu: Ibn ummi Abd (Abdullah b. Umar), Mu'adz b. Jabal, Ubay b. Kaab,
dan Salim maula Abi Hudaifah (HR. Bukhari dan Muslim). Imam Nawawi menjelaskan
bahwa keempat tokoh ini direferensikan dalam bacaan Al-Qur'an sebab lebih fasih
dan lebih meyakinkan sebab keempatnya belajar secara musyafahah kepada
Rasulullah Saw.
Berdasarkan keterangan itu, Abu Abdullah b. Abdussalam b. Ali dalam
kitab al-Murayid al-Amiin Li al-Raghibin fi Hifd Al-Qur'an al-Adzim, halaman
185 menjelaskan bahwa orang yang belajar Al-Qur'an tanpa berguru berlebih dulu
maka dia bertanggung jawab atas dosa yang disebabkan kesalahannya di dalam
membaca Al-Qur'an.
Dengan nada sindiran, Imam Ashim seorang ahli qiraatul Qur'an juga
bernah berkata kepada seseorang yang biasa membaca Al-Qur'an tetapi dia belum
pernah berguru kepada ahli qiraat Al-Qur'an: "Aku tidak mendengar sama
sekali dari mulutmu satupun huruf Al-Qur'an!"
Peringatan serupa juga disampaikan Imam Nafi' kepada pemuda yang baru
belajar kepadanya. Beliau berpesan:... Bacaan Qur'an kita pada dasarnya
merupakan bacaan para guru-guru kita. Kita mendengar langsung dari mereka. Kita
jangan sampai membaca Al-Qur'an mengikuti nalar logika kita.
Selanjutnya Imam Nafi' membaca ayat 88 Surat al-Isra', yang seolah-olah
beliau menyamakan pembaca Al-Qur'an tanpa bimbingan guru diumpamakan sekelompok
manusia dan jin yang ingin membuat tandingan Al-Qur'an. Na'uzdubillah min
zdalik!
Pada dasarnya belajar Al-Qur'an diharuskan lewat guru karena alasan
yang masuk akal:
Pertama, dalam ilmu Al-Qur'an terdapat ilmu tajwid untuk memaksimalkan
bacaan Al-Qur'an
Kedua, model bacaan Al-Qur'an yang disepakati ulama adalah hasil ijma'
ulama ahli tajwid.
Ketiga, membaca Al-Qur'an sesuai bacaan guru yang ahli Al-Qur'an pada dasarnya berusaha memaksimalkan tajwid Al-Qur'an yang telah disepakati dari semenjak ulama salafus shalih hingga ulama di masa sekarang.
Penulis: M. Ishom el-Saha
© 2018. All rights reserved. Sinergimetrodata